Dear Papa

Source: https://id.pinterest.com/pin/11259067812668175/


Kalau ngomongin soal papa, rasanya kayak buka kotak harta karun yang penuh kenangan. Papa udah nggak ada sekitar tujuh tahun yang lalu, tapi jujur aja, rasa kehilangannya nggak pernah benar-benar pergi. Sosok Papa itu humoris tapi juga serius, campuran unik yang bikin Papa selalu gampang dirindukan.

Papa itu pekerja lapangan. Kadang di laut, kadang di hutan Papua, kadang di luar Indonesia, bahkan di tempat-tempat terpencil yang namanya aja aku baru dengar dari ceritanya. Karena kerjaannya, Papa jarang banget ada di rumah sejak aku kecil. Tapi anehnya, Papa nggak pernah terasa jauh. Setiap hari, tanpa absen, Papa selalu telpon mama. Bukan cuma nanya kabar Mama, tapi juga kabar aku dan adik-adik. Meski sinyal pas-pasan, suara Papa dari ujung sana selalu terdengar hangat.

Selain jadi kepala keluarga yang tegas, Papa juga nggak segan bantuin pekerjaan rumah. Aku masih ingat banget Papa sering nyetrika di depan TV sambil nyetel karaoke lagu-lagu lama. Dari The Beatles, Elvis, sampai lagu-lagu nostalgia lain yang bikin suasana rumah jadi hidup. Sambil nyanyi, Papa enjoy banget menyelesaikan setrikaannya. Aku masih bisa ngebayangin beliau berdiri dengan senyum kecil sambil ngerapihin setrikaan terakhirnya. Hal-hal kayak gini, sederhana tapi terekam jelas di memoriku.

Sebelum tugas ke luar kota, Papa selalu ngecek seluruh rumah. Mulai dari keran air, pipa toren, sampai lampu, dan listrik. Dia pastiin semuanya aman sebelum berangkat. Katanya, "Rumah itu tempat perlindungan. Harus nyaman, harus aman. Apalagi kalau Papa lagi nggak di sini." Itu pelajaran kecil yang nggak pernah aku lupa, tanggung jawab sederhana, tapi dampaknya besar.

Dari kecil, aku sering jadi "kenek" Papa. Kalau Papa lagi benerin lampu, listrik, atau pipa air, aku hampir selalu ada disebelahnya megangin alat-alat, meskipun kadang aku suka ngeluh sih, trus nyuruh adik aku gantian. Waktu itu aku cuma mikir, itu bentuk bantuan biasa buat Papa. Tapi ternyata, pelajaran kecil itu sekarang berguna banget. Setelah Papa nggak ada, dan di rumah udah nggak ada sosok laki-laki dewasa, aku jadi bisa benerin hal-hal kecil kayak lampu, engsel pintu, atau kunci rusak. "Terima kasih, Pa, buat skill-skill sederhana tapi penting yang Papa ajarin dulu."

Hal yang nggak pernah aku lupa: Papa adalah orang pertama yang bikin aku berani bicara. Dulu aku tuh pendiam banget. Kalau nggak disapa duluan, aku nggak akan ngomong. Waktu aku punya diary, aku pernah minta Papa isi satu halaman. Di bagian paling bawah, Papa nulis pesan: "Jangan takut untuk bicara, agar dunia mendengarkanmu."

Waktu kecil, aku nggak terlalu ngerti maknanya. Buatku, itu cuma kalimat keren yang Papa tulis. Tapi setelah Papa nggak ada, suatu hari aku buka diary itu lagi. Saat baca kalimat itu, aku nangis. Baru aku sadar, kalimat itu adalah kekuatan yang Papa kasih ke aku. Dia mau aku tumbuh jadi orang yang berani, nggak cuma berani bicara, tapi berani jadi diri sendiri.

Aku juga masih ingat jelas, Papa yang anterin aku daftar kuliah. Mobil kami lagi rusak waktu itu, jadi kami naik angkot, panas-panasan. Tapi Papa nggak pernah ngeluh. Dia cuma bilang, "Ini bagian dari perjalanan. Nikmatin aja, nanti kamu bakal punya cerita seru buat diceritain." Kata-kata Papa itu jadi penyemangatku.

Trus ada lagi satu momen yang benar-benar aku ingat banget. Pas kuliah, aku sempat kesulitan banget belajar bahasa Mandarin. Nggak bisa baca hanzi-nya. Aku udah mau nyerah aja, tapi Papa bilang, "Papa aja percaya kamu bisa, masa kamu nggak?" Ucapan itu membuatku kembali merasa percaya diri. Sakti banget, ya?

Sampai sekarang, aku ngerasa Papa nggak pernah benar-benar hilang dari hidupku. Walaupun fisiknya udah nggak ada, kata-kata dan semangat yang dia kasih itu selalu ada di setiap langkahku. Kadang aku mikir, mungkin itu alasan kenapa Papa rajin banget telpon, ngingetin, dan ngecek kabar kami semua. Dia mau memastikan kalau meskipun jarang ada di rumah, kehadirannya tetap terasa.

Di hari-hari terakhir Papa, perasaan aku campur aduk, sedih, bingung, dan sedikit nggak percaya kalau waktu kami bareng ternyata tinggal sebentar. Jujur aja, waktu itu aku lagi sibuk banget dengan masalahku sendiri. Rasanya dunia lagi nggak berpihak ke aku, dan aku terlalu tenggelam dalam pikiran-pikiranku. Aku nggak sempat benar-benar duduk bareng Papa, nggak sempat cerita panjang soal hidupku, dan lebih parahnya lagi, aku belum sempat bikin Papa bangga seperti yang selalu aku impikan.

Sekarang, kalau aku mengingat hari-hari itu, rasa nyesel suka muncul gitu aja. Kenapa aku nggak lebih banyak kasih waktu untuk Papa? Kenapa aku nggak bilang betapa aku bersyukur punya sosok hebat kayak dia? Tapi ya, waktu nggak bisa diulang. Penyesalan itu akhirnya berubah jadi pengingat buat aku.

Jadi, meskipun Papa udah nggak ada di sini, aku berharap setiap langkahku ke depan bisa jadi bentuk terima kasih untuk semua yang pernah Papa lakukan. Semoga, di setiap keputusan dan pencapaian yang aku buat, Papa bisa lihat kalau anak kecil yang dulu beliau ajarin buat berani ini, akhirnya tumbuh jadi seseorang yang nggak akan pernah berhenti mencoba.

Papa adalah bukti nyata kalau cinta nggak harus selalu dekat secara fisik. Kehadirannya nggak pernah hilang dari aku, bahkan setelah tujuh tahun berlalu. Sekarang, aku bisa bilang, semua keberanian, kepercayaan diri, dan semangat yang aku punya, itu berakar dari seorang pria luar biasa yang aku panggil Papa.

Kalau Papa baca tulisan ini dari atas sana, aku cuma mau bilang: Terima kasih, Pa, untuk semuanya. Aku bersyukur dan bangga bisa jadi anak Papa."

Comments

  1. Papa disurga pasti sangat bangga lihat anaknya sudah bertumbuh menjadi wanita yang cantik dan baik hati, aku bacanya aja nangis loh.. Thank you for sharing sangat menguatkan 🩷

    ReplyDelete

Post a Comment