![]() |
Poster Film Sore: Istri dari Masa Depan (Source: Instagram/cerita_films |
Disclaimer:
Tulisan ini mungkin mengandung spoiler, jadi kalau belum siap tahu detailnya, better nonton dulu baru balik lagi baca, ya!
“Sore datang bukan hanya untuk mencintai Jonathan. Dia datang membawa misi: menyelamatkan.”
Tepat seminggu yang lalu, aku nonton SORE: Istri dari Masa Depan. Jujur, sampai sekarang rasanya aku belum bisa move on. Film ini punya sesuatu yang susah dijelasin, lebih dari visual cantik dan soundtrack yang bikin hati ikut berdetak. Ada rasa yang nyangkut, bikin aku kepikiran terus.
![]() |
Tiket Film Sore |
Aku sempat bengong lama setelah film selesai. Rasanya kayak baru ngobrol sama seseorang yang cuma mampir sebentar, tapi ninggalin kesan yang dalam banget. SORE mungkin terlihat seperti kisah cinta fantasi, tapi buatku, ada satu hal besar yang bikin film ini berbeda: Sore dan misinya menyelamatkan Jonathan.
Dari situlah, aku sadar film ini sebenarnya juga bicara soal sesuatu yang sering banget kita alami di dunia nyata: perasaan harus jadi penyelamat buat orang lain.
Cinta yang Jadi Tanggung Jawab
Sore (Sheila Dara) bukan cuma sosok perempuan dan istri yang romantis. Dia nggak cuma datang dari masa depan buat bilang, “Jonathan (Dion Wiyoko), aku cinta kamu.” Dia datang dengan beban lebih besar: memastikan Jonathan berhenti hidup berantakan supaya nggak mati muda. Cintanya bukan cuma rasa, tapi juga proyek penyelamatan.
Di dunia nyata, banyak banget orang, terutama perempuan yang pernah terjebak di posisi kayak gini. Ngerasa harus jadi penolong. Harus jadi yang “benerin” hidup orang lain, meski nggak ada yang minta. Kadang bukan cuma karena cinta, tapi karena takut nggak berguna, atau luka lama yang bikin kita ngerasa nilai kita cuma ada kalau kita bisa nyelametin orang lain.
Dan pelan-pelan, rasa itu berubah jadi beban.
Saviour Complex dan Kenapa Ini Berat
Menurut Verywell Mind, saviour complex (atau white knight syndrome) adalah dorongan buat menyelamatkan orang lain bahkan ketika nggak diminta, sampai-sampai kita lupa sama diri sendiri.
Dr. April Justice, terapis dari BetterHelp, bilang kalau pola ini bisa bikin kita kelelahan secara emosional, hubungan jadi nggak seimbang, bahkan bikin kita merasa kosong kalau nggak ada orang yang perlu diselamatkan.
Aku rasa, itu banget yang terjadi sama Sore. Dia tulus mencintai, tapi juga nggak bisa lepas dari misi buat “memperbaiki” Jonathan. Sampai-sampai, di satu titik, kita nggak tahu lagi: ini cinta, atau kebutuhan buat ngerasa berarti?
Ketika Nyata dan Fiksi Beririsan
Film SORE bikin aku ingat cerita seorang teman. Dia pernah bilang betapa capeknya selalu jadi penolong dalam hubungannya. Setiap masalah pacarnya, dia yang cari jalan keluar. Setiap krisis, dia yang jadi penopang. Sampai satu hari, dia sadar: dia nggak tahu lagi siapa dirinya di luar peran itu.
“Aku kayak cuma punya nilai kalau aku bisa nolong dia,” katanya.
Dan mungkin banyak orang bisa relate sama rasa itu.
Kalau pernah ada di posisi ini, kamu pasti tahu rasanya: capek, tapi susah berhenti. Karena kalau berhenti, rasanya kayak jahat. Kayak kamu nggak cukup baik.
Pelajaran dari Sore: Kadang Cukup Menemani
Yang aku suka dari film ini adalah bagaimana Sore akhirnya sadar: cinta nggak selalu soal menyelamatkan. Kadang, cinta itu cukup hadir. Nemenin. Dengerin. Dan pada waktunya, melepaskan.
Melepaskan bukan berarti berhenti peduli. Justru, sering kali itu bentuk cinta terbesar, membiarkan orang yang kita sayang tumbuh sendiri, tanpa kita jadi “tongkat” yang selalu menopang.
Dan itu juga jadi pengingat penting buatku pribadi. Karena, jujur, aku juga pernah jadi “Sore” di kehidupan nyata. Berusaha keras nyelametin seseorang: emosional, bahkan finansial, dengan harapan dia akan berubah. Tapi apa yang terjadi? Aku capek, kehilangan diriku sendiri, dan dia tetap sama.
Akhirnya aku sadar: itu bukan karena aku gagal. Tapi karena memang bukan tugasku buat mengubah hidup dia.
Saatnya Jadi “Sore” untuk Diri Sendiri
Film ini bikin aku berkaca. Coba mulai bertanya ke diri sendiri:
- Apakah aku sering merasa lebih berharga hanya kalau bisa nolong orang lain?
- Apakah aku pernah lupa sama diriku sendiri demi menyelamatkan orang lain?
- Apakah aku pernah kecewa kalau orang yang aku bantu nggak berubah, padahal aku udah berusaha habis-habisan?
Kalau banyak jawab “iya”, mungkin ternyata kita terjebak dalam saviour complex.
Tapi kabar baiknya, kita bisa belajar lepas dari pola itu. Kita bisa belajar jadi “supporter”, bukan “saviour”. Ada bedanya: supporter hadir, mendukung, memberi cinta, tapi nggak berusaha ngatur atau mengendalikan hidup orang lain. Supporter juga tahu kapan harus ada, dan kapan harus mundur buat menjaga diri.
Dan yang paling penting: kita bisa belajar jadi “Sore” untuk diri sendiri. Menyelamatkan diri kita dari rasa bersalah, dari kebiasaan mengorbankan diri, dan dari kebutuhan buat selalu jadi pahlawan.
Cinta Sehat Bukan Tentang Menyelamatkan Semua Orang
Mungkin itulah kenapa SORE terasa begitu magis. Dia bukan cuma kisah cinta fantasi yang manis. Tapi juga cermin, yang mengingatkan kita bahwa cinta yang sehat bukan soal nyelametin semua orang.
Cinta yang sehat adalah hadir. Mendampingi. Mendukung. Tapi juga berani mundur ketika harus.
Ingat ya, kalau kamu gagal jadi penyelamat, kamu tetap manusia. Bukan pecundang.
Karena kadang, cinta terbesar justru ada di keberanian untuk mendampingi atau bahkan melepaskan. Dan itu bukan kelemahan, tapi tanda kalau kita benar-benar mencintai orang lain, dan diri sendiri.
Comments
Post a Comment