Pride and Prejudice: Living with Sisters, Loving with Courage


Pride & Prejudice (Source: https://id.pinterest.com/pin/102175485293462479/)

Living with Sisters: A Beautiful Chaos

Tinggal serumah sama saudari perempuan itu rasanya kayak tinggal di tengah orkestra, ada yang main biola, ada yang tabuh drum, ada yang nyanyi sambil joget sendiri. Beda-beda, rame, tapi somehow harmonis juga. Nonton ulang Pride and Prejudice bikin aku kangen banget sama dinamika itu. Lima saudari Bennet punya personality yang bener-bener distinct, dan itulah yang bikin film ini hidup.

Ada Jane yang lembut dan classy banget, Elizabeth si witty dan independent, Mary yang agak serius dan bookish, Lydia yang impulsif, dan Kitty yang... well, ikut-ikutan Lydia. Semua punya cara sendiri buat melihat dunia, cinta, dan hidup. Tapi mereka tetap satu keluarga, saling sayang.

Buat aku, film ini bukan cuma tentang drama cinta dan bangsawan, tapi juga tentang growing up bareng perempuan-perempuan lain yang ngajarin kita banyak hal tentang kesabaran, kejujuran, batasan, dan keberanian buat jadi diri sendiri.


Every Girl Has Her Own Tune

What struck me this time, pas nonton ulang, is how Pride and Prejudice portrays women as complex, nuanced individuals. Setiap karakter perempuan di film ini punya values yang beda. And that’s okay. They’re not perfect, but they’re real.

Jane believes in love that’s gentle and kind. Lizzy wants love that challenges her, that sees her worth beyond status. Charlotte marries for security, bukan karena dia lemah, tapi karena dia realistis. Even Mrs. Bennet, yang sering dibilang rewel, deep down dia cuma ingin anak-anaknya aman dan settled.

Di sinilah aku merasa bahwa perempuan nggak bisa dimasukin dalam satu kotak. There’s no one-size-fits-all when it comes to dreams and decisions. Bahkan di era sekarang, banyak dari kita masih struggle karena society punya ekspektasi yang sempit. Tapi film ini udah bilang dari dulu: you’re allowed to want different things, and still be worthy of love and respect.


The Language of the Film: Elegant, Yet Cutting

Aku sempat bingung nyari kata yang tepat buat mendeskripsikan gaya bahasa film ini. Tapi setelah direnungin, kayaknya elegant with bite cocok banget.

Dialog-dialog di film ini halus, penuh nuansa, tapi juga tajam. Cara Lizzy ngomong ke Darcy tuh bisa bikin kita senyum-senyum sambil ngerasa “ouch, that was brutal but poetic.” Mereka saling adu argumen tapi tetap dalam balutan kesopanan. British banget, tapi juga sangat personal.

Gaya bahasa ini ngajarin aku satu hal: kamu bisa tegas tanpa harus galak, kamu bisa gentle tapi tetap punya power. That’s a lesson in communication I wish more people learned.


On Love: Between Pride and Vulnerability

Kalau ngomongin cinta di Pride and Prejudice, aku tuh selalu ngerasa terenyuh banget. Karena love stories di film ini bukan tentang yang manis-manis aja, tapi juga tentang ego, rasa malu, dan keberanian buat berubah.


Mr. Darcy awalnya terlalu angkuh buat mengakui perasaannya. Elizabeth juga terlalu cepat nge-judge dia. Tapi seiring waktu, mereka belajar buat buka hati, admit their flaws, dan belajar ngerti satu sama lain. It’s not just about falling in love, it’s about choosing to love, with all the risks and uncertainties.


That’s the kind of love I want. Yang nggak instan, tapi tumbuh dari proses. Yang bukan soal posesif atau drama, tapi tentang respect dan keberanian buat melihat seseorang apa adanya, tanpa topeng dan pretensi.


Sisterhood Over Competition

Satu hal lagi yang aku suka banget dari film ini: walau banyak karakter perempuan, nggak ada narasi saling menjatuhkan. Mereka saling komentar, iya. Kadang sebel juga. Tapi nggak pernah saling tikam.

They protect each other, cover up each other’s mess, and celebrate each other’s joy. Bahkan ketika Charlotte menikahi Mr. Collins, Lizzy kecewa, tapi tetap menghormati keputusan temannya. That’s rare, even in modern stories.

Kayaknya kita butuh lebih banyak cerita yang kayak gini, yang nggak selalu menggambarkan perempuan sebagai saingan, tapi sebagai ally.


Final Thoughts: Finding Yourself Through Love and Family

Rewatching Pride and Prejudice felt like coming home. Film ini bukan cuma tentang cinta antara dua orang, tapi juga tentang finding who you are di tengah kebisingan dunia. Tentang belajar membedakan mana yang pride dan mana yang self-worth, mana yang prejudice dan mana yang healthy skepticism.

Dan yang paling penting, film ini ngasih ruang buat kita, perempuan, buat jadi diri sendiri. Mau kamu sweet kayak Jane, witty kayak Lizzy, atau unpredictable kayak Lydia, semua versi itu nggak ada yang salah, nggak ada yang kurang. Karena in the end, you are not defined by how society sees you, but by how you see yourself.

Comments