Settling & Self-Sabotage: 3 Patterns Guaranteed to Ruin Your Love Life

Materi Settling & Self-Sabotage

 Disclaimer:

Tulisan ini adalah refleksi pribadi setelah ikut workshop “Settling and Self-Sabotage: 3 Patterns Guaranteed to Ruin Your Love Life” bareng Quinlan Walther & Jimmy Knowles. Semua insight di sini diambil dari catatan dan interpretasi pribadi sebagai peserta yang lagi nyari tahu: kenapa sih cinta kadang terasa susah banget?

 

Ada saatnya di mana aku mikir:

“Kenapa ya, hubungan tuh selalu mentok di pola yang sama?"

Entah itu aku terlalu banyak ngalah, atau malah suka kabur sendiri dan nyari masalah tiap kali mulai dekat. Kadang jadi people pleaser, kadang pura-pura cool padahal hati panik.

Mungkin, kamu juga pernah ada di posisi itu.

 

Yang pengin banget dicintai, tapi pas cinta itu datang, kamu malah tarik rem tangan.

Kayak hati bilang “I want love,”
tapi otak jawab, “Tapi nanti kalau disakitin gimana?

 

Akhirnya aku ikutan workshop bareng Quinlan & Jimmy, dan itu bukan workshop yang ngajarin cara cari pasangan ideal atau tips biar chat dibales. Tapi tentang: kenapa kita suka sabotase sendiri waktu cinta udah mulai terasa real?

 

Siapa sih Quinlan & Jimmy?

Quinlan Walther dan Jimmy Knowles adalah dua praktisi trauma-informed yang sering kolaborasi bahas pola sabotase dalam relasi. Mereka sering kerja bareng di bidang healing, attachment, dan emotional work.


Quilan Walther & Jimmy Knowles

Quinlan itu lebih ke embodiment coach, sementara Jimmy lebih banyak ngebahas tentang trauma dan emotional patterns. Dinamika mereka asik banget: empatik, insightful, dan nggak ngasih kesan “guru yang lebih tahu segalanya.”

Instead, mereka ngobrol kayak teman lama yang lagi duduk bareng kamu di coffee shop dan bilang,

“Eh, kamu sadar nggak sih kalau pola ini udah kamu ulang terus-terusan?”

 

Menurut mereka, fondasi dari semua hubungan yang sehat itu satu: Self-trust. Karena kalau kamu aja nggak bisa percaya diri sendiri, gimana kamu bisa percaya bahwa kamu layak dicintai.

Pas mereka mulai bahas tiga pola sabotase yang paling sering bikin hubungan gagal, aku langsung mikir,

"Duh, jangan-jangan aku salah satunya atau malah tiga-tiganya?"

Dan ternyata, emang iya.

 

Yang menarik, pola-pola ini bukan muncul karena kita nggak ngerti cara sayang. Tapi karena ada bagian dari diri kita yang cuma pengin aman. Pengin dicintai tanpa harus terluka lagi. Tapi sayangnya, cara kita jaga diri justru jadi cara kita ngejauh dari cinta.

Here we go.


The Overgiver: When You Lose Yourself for Love

Ketika kamu ngasih semua, tapi lupa sama diri sendiri.

The Overgiver

Ini tipe yang kayaknya paling sering dipuji society: baik, pengertian, selalu ada. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang pelan-pelan hilang: diri kamu sendiri.

Overgiver itu sering banget memilih attachment over authenticity.

Daripada jujur, lebih baik ngalah.

Daripada ditinggal, lebih baik diam.

Daripada ditolak, lebih baik jadi versi ‘ideal’ yang disukai semua orang.

Tapi hati kecilnya jerit,

“Aku juga pengin dimengerti.”

“Aku juga punya batas.”

“Aku capek.”

Dan yang paling sedih:

Cinta yang harus dibayar dengan kehilangan diri sendiri, itu bukan cinta. Itu kompromi yang kelewatan.


The Distancer: When Intimacy Feels Like Danger

Ketika kamu nggak berani dekat karena takut terluka.


The Distancer

Distancer ini kelihatannya cool. Tenang. Mandiri. Tapi sebenarnya, dia takut.

Bukan takut dari orang lain, tapi dari ketakutannya sendiri. Distancer lebih milih isolation over intimacy. Karena kedekatan itu berisiko. Kalau orang lain liat aku utuh, lengkap dengan semua luka dan chaos di dalam, apa mereka masih mau tinggal?

Jadi lebih aman buat kabur. Ngasih jarak. Tarik rem. Atau bilang, “aku takut nyakitin kamu,” padahal sebenarnya dia takut disakiti.

 

Takut dilihat terlalu dalam.

Takut kedekatan bikin luka lama muncul lagi.

Takut kalau orang lain liat semua kekacauan di balik “santai”-nya, mereka bakal ninggalin.

Makanya dia jaga jarak. Bikin tembok. Atau kalau udah mulai nyaman, tiba-tiba ngilang. Sibuk. “Lagi butuh waktu sendiri.”

 

Padahal, deep down dia pengin dekat juga. Cuma, dekat itu menakutkan.

You can’t build a home when you keep standing at the door. Kalau kamu nggak berani masuk, jangan heran kalau hubunganmu selalu dingin.

Hubungan yang sehat butuh keberanian buat bilang:

“Ini aku. Nggak sempurna. Tapi nyata.”


The Overthinker: When Your Mind Drowns Your Heart

Ketika kamu terjebak di kepala sendiri.

The Overthinker

Overthinker itu mikirnya dua langkah ke depan sebelum satu langkah pun dijalanin. Bukan karena nggak sayang, tapi karena takut kecewa. Semua sinyal dianalisis.

Semua gesture ditanya: “Ini maksudnya apa?” Overthinker pilih analysis over acceptance. Dan alih-alih mengalami cinta, dia malah sibuk menyusun hipotesis.

Semua sinyal dibaca ulang 3x. Kalimat "Oke." tanpa emoji bisa jadi bahan analisis 2 hari. Kepala sibuk bikin asumsi, hati jadi ketutup.

 

Overthinker pengin kontrol hasil akhirnya.

“Kalau aku bisa nebak dia bakal ghosting, setidaknya aku nggak terlalu sakit.”
“Kalau aku ngerti dia nggak serius dari awal, aku bisa cabut duluan.”

Tapi, sayangnya, cinta nggak bisa tumbuh di ruang yang penuh asumsi.
Kadang, satu-satunya cara buat tahu adalah menjalaninya.

Love is not a puzzle to solve. It’s a frequency to feel.


Jadi, Habis Ini, Apa?

Di akhir sesi, Jimmy bilang kalimat yang bikin aku diam cukup lama:

“You don’t ruin your love life because you don’t know how to love. You ruin it because you’re too afraid to be seen.”

Karena ternyata, bisa jadi kamu pengin banget punya seseorang yang pulang ke hati kamu, tapi kamu juga sangat takut untuk dilihat utuh.
Kita pengin ada yang pulang ke hati kita, padahal kitanya sendiri masih nyasar.


The Real Work: Coming Home To Yourself

Pulang ke diri sendiri.

Sebelum nunggu seseorang buat datang dan mencintai kamu dengan benar, kamu harus pulang dulu ke diri sendiri. Kamu harus bisa duduk bareng luka-luka kamu. Nggak usah buru-buru nyembuhin, cukup temenin. Karena dari situ, rasa percaya lahir.


Dan dari kepercayaan, cinta bisa tumbuh tanpa drama. Jadi, next time kamu merasa pengin banget dicintai. Tanya pelan-pelan: “Apa aku udah berhenti sabotase perasaan aku sendiri?”


Bukan berarti kamu harus “fix” semua trauma dulu baru bisa cinta-cintaan.

Tapi kamu perlu kenal dulu sama siapa yang lagi berdiri di balik trauma itu.

Kenalin: kamu yang suka overgiving.
Kamu yang suka kabur.
Kamu yang mikir terus tapi nggak pernah bener-benar ngerasain.

Di situlah cinta bisa pelan-pelan tumbuh. Bukan karena kamu udah “siap,” tapi karena kamu hadir. Utuh.


Jadi kalau besok-besok kamu ngerasa kesepian banget dan pengin dicintai, coba tanya pelan-pelan:

“Apa aku udah sayang sama diri aku sendiri?”
“Apa aku masih nyari validasi dari orang yang bahkan nggak kenal aku seutuhnya?”
“Apa aku udah berhenti ninggalin diri aku sendiri demi diterima?”


Because, you are not too much. You are not too hard to love. You’re just waiting for that day when you finally come home to yourself.

You’re just someone who's learning how to come home.
To your own heart. To your own truth.

And once you’re home, love will know exactly where to find you.

 

Comments