Jurassic World Rebirth: Film Boleh Seru, Tapi Apa Sudah Sesuai Umur?

Jurassic World Rebirth  (Source: 

https://id.pinterest.com/pin/606297168625695021/)


Kemarin aku nonton Jurassic World: Rebirth di bioskop. Niat awalnya mau nostalgia film Jurassic, aksi menegangkan, dan visual CGI yang biasanya bikin takjub. Tapi yang bikin aku terdiam bukan cuma raungan dinosaurus atau suara surround sound dari speaker Dolby, melainkan suara panik anak kecil di samping tempat dudukku.

Ia memeluk mamanya erat-erat, panik, minta pangku, dan berulang kali bertanya:
"Ini beneran nggak sih, Ma? Kenapa dia gigit orang?"

Mamanya menenangkan dan menjelaskan. Selama sepanjang film, aku seperti menonton dua cerita sekaligus: satu di layar, satu lagi di dunia nyata.


The Dino Dilemma: Cute Toys, Scary Movies

Ada kesenjangan besar antara visual branding dinosaurus di budaya pop dengan isi cerita sebenarnya. Anak-anak tumbuh dikelilingi karakter dino yang menggemaskan: dari Barney the Dinosaur yang ungu dan ramah, The Good Dinosaur dari Pixar, sampai mainan lucu yang ada di rak toko mainan.


Source: 
https://id.pinterest.com/pin/4600638214938307072/

Dinosaurus jadi ikon yang "dipasarkan" seolah-olah cocok untuk anak-anak, padahal tidak semua representasi dino itu dibuat untuk konsumsi anak. Jurassic World, dari awal franchisenya di tahun 1993, sudah menampilkan unsur horor, thriller, bahkan gore ringan. Tapi entah kenapa, citra filmnya justru makin terdorong ke ranah family entertainment. Apalagi saat diputar di musim liburan sekolah.

Yang dilupakan adalah: meskipun visualnya menarik, isi film ini tetap keras. Ada adegan kejar-kejaran berdarah, dinosaurus yang menyerang manusia secara brutal, dan tensi tegang lainnya. Untuk anak kecil, ini bukan hiburan, ini mimpi buruk.

Menurut Victor C. Strasburger, MD., seorang dokter anak dan profesor di University of New Mexico School of Medicine, juga Barbara J. Wilson, PhD., profesor komunikasi yang banyak meneliti tentang bagaimana anak-anak memahami media, dan Amy B. Jordan PhD., peneliti dan profesor di bidang komunikasi dan kebijakan publik, lebih dari seribu studi telah menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap kekerasan di media, khususnya televisi, dapat meningkatkan perilaku agresif pada anak-anak, terutama anak laki-laki

Mereka juga menyebutkan bahwa rata-rata anak menonton sekitar 12.000 adegan kekerasan setiap tahunnya, termasuk adegan pembunuhan dan kekerasan seksual, yang dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional dan sosial anak-anak (Strasburger et al., 2009). 

 

Ketika Promosi Terasa Terlalu Ramah Anak

Di luar bioskop, strategi marketing film ini terasa sangat family-oriented. Banyak mall besar sekarang menghadirkan wahana bertema dinosaurus, lengkap dengan taman bermain interaktif, replika dino raksasa, hingga aktivitas mewarnai atau foto bareng dino yang dirancang eye-catching untuk anak-anak. Secara terpisah, ini tentu hal yang positif, edukatif dan menyenangkan. 

Sumber: https://skalaekonomi.com/megapolitan/puaskan-waktu-liburan-seru-berpetualang-bersama-jurassic-world-rebirth-di-pakuwon-mall-bekasi-2/

Tapi ketika kampanye promosi seperti ini beriringan dengan perilisan film Jurassic World: Rebirth, yang sejatinya punya rating 13+, maka muncul risiko mispersepsi. Banyak orang tua jadi tergoda untuk mengajak anak-anak di bawah usia tersebut menonton, karena mengira filmnya sejalan dengan nuansa ‘ramah anak’ dari kegiatan off-screen tadi. Padahal, konten filmnya sendiri mengandung adegan-adegan yang bisa memicu ketakutan, kecemasan, atau bahkan trauma jika dikonsumsi terlalu dini.


Pentingnya Literasi Media bagi Orang Tua

Film rating itu bukan formalitas. Label 13+ artinya film tersebut bisa mengandung konten yang mengganggu perkembangan emosional, psikologis, atau etika anak-anak di bawah umur tersebut. Bukan hanya soal adegan berdarah, tapi juga konteks kekerasan, tekanan psikologis, atau narasi kompleks yang belum bisa dipahami.

Literasi media bukan cuma soal tahu mana konten positif dan negatif, tapi juga memahami konteksmemeriksa kredibilitas sumber, dan mengambil keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang ada. Banyak orang tua masih melihat film hanya sebagai hiburan, tanpa sadar bahwa setiap tontonan membawa pesan, simbol, dan dampak psikologis.

Beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan:

  • Baca sinopsis dan ulasan terlebih dulu, bukan hanya trailer.
  • Periksa rating dan alasan di baliknya (misalnya PG-13 karena "intense sequences of violence").
  • Buka diskusi dengan anak soal isi film, bahkan sebelum menonton.
  • Pilih waktu dan tempat yang sesuai, agar bisa keluar jika anak mulai tidak nyaman.


Etika di Ruang Publik: Bioskop Bukan Playground

Kita semua pernah merasa terganggu di bioskop, entah karena suara notifikasi HP, obrolan yang terlalu keras, atau anak kecil yang rewel karena ketakutan. Tapi yang sering terlewatkan adalah: ketika kita membawa anak ke ruang publik seperti bioskop, itu bukan hanya tentang hak kita, tapi juga tanggung jawab kita.

Bioskop adalah ruang bersama. Setiap penonton datang untuk menikmati cerita, membayar tiket, dan berharap mendapat pengalaman sinematik yang utuh. Kalau satu anak menangis dan panik, yang terdampak bukan cuma dia dan keluarganya, tapi juga puluhan penonton lain yang merasa tidak nyaman.

Ini soal kesiapan emosional anak untuk menghadapi jenis film tertentu. Kalau memang belum waktunya, menunggu sampai rilis digital di rumah bisa jadi pilihan yang lebih bijak. Bisa jeda kapan saja, bisa dijelaskan pelan-pelan, dan yang paling penting: anak tidak trauma, penonton lain tidak terganggu.


It’s Not Just About Dinosaurs

Jurassic World: Rebirth mungkin cuma film. Tapi kejadian di bioskop kemarin jadi refleksi yang lebih besar. Tentang bagaimana budaya pop bisa membentuk persepsi, tentang kurangnya literasi media, dan tentang pentingnya memperhatikan batas usia tontonan, bukan hanya demi anak, tapi demi publik yang lebih sehat secara kolektif.

Karena pada akhirnya, yang bikin bioskop tidak nyaman bukan suara dinosaurus di layar, tapi kita sendiri, manusia di bangku penonton, yang belum cukup sadar akan peran kita di ruang publik.

  

Comments

  1. Wah.. Gak nyangka, adegan kekerasan walaupun bukan oleh manusia ternyata dapat memengaruhi mental anak...

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah singgah dan berbagi komentar. Benar, apalagi untuk anak yang masih belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang fiksi, dampaknya bisa lebih terasa.

    ReplyDelete

Post a Comment