Menyalakan Terang dari Timur: Kisah Laura Marisa Siagian dan Rumah Belajar Papua Hei


Laura dengan Anak-Anak di Rumah Belajar Papua Hei (Sumber: Instagram/lauraamrsgn)
“Iyo, Kaka.. sa pelan-pelan saja dan fokus. Kaka tunggu sa e..”
Kalimat sederhana itu diucapkan oleh Frans, seorang anak yang belajar di Rumah Belajar Papua Hei di Yapen, Papua. Sekilas terdengar seperti kalimat biasa, namun di baliknya tersimpan semangat belajar yang kuat, bahwa proses belajar bukan tentang cepat-cepat sampai, melainkan tentang kesabaran, fokus, dan kemauan untuk terus melangkah.

Bagi Laura Marisa Siagian, penggerak Rumah Belajar Papua Hei, kata-kata seperti itu adalah pengingat harian tentang arti perjuangan. Ia melihat sendiri bagaimana semangat belajar tumbuh dari tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, di pesisir laut biru yang menjadi ruang belajar sekaligus ruang hidup bagi anak-anak Papua.

Membaca Alam, Menulis Harapan

Laura lahir dan tumbuh di luar Papua, tapi hatinya tertambat di timur. Dalam salah satu unggahan Instagram-nya di akun @lauraamrsgn, ia menulis refleksi yang sangat menyentuh:
“Waktu masih seumuran mereka, aku malah sibuk main Friendster, MIRC, dan YM. Sedangkan mereka sudah jago renang dan dayung perahu untuk (sesekali) bantu orang tua cari ikan di laut sambil main-main di alam.”
Anak-Anak Sedang Belajar dengan Senang Hati (Sumber: Instagram/lauraamrsgn)

Anak-anak di Papua belajar langsung dari alam, dari laut, pasir, dan cara hidup yang menuntut kepekaan pada sekitar. Dari sanalah Papua Hei lahir, dengan semangat untuk menghargai cara belajar anak-anak Papua yang kinestetik, alami, dan merdeka.
“Mereka banyak belajar dari alam, bukan di ruang sekolah duduk diam,”

ujar Laura dalam salah satu dokumentasi kegiatan.

Membangun Atap, Menegakkan Mimpi

Di Sarawandori, tempat Papua Hei berdiri, ruang belajar itu dulu tak beratap. Angin kencang merobohkan seng, hingga anak-anak belajar di bawah matahari atau berteduh di bawah pohon. Tapi semangat mereka tak ikut roboh. Lewat gotong royong masyarakat dan dukungan para relawan, berdirilah kembali atap sederhana yang menaungi tempat belajar itu.
“Selama beberapa minggu lalu kondisi tempat kami belajar belum ada atap. Bersyukur sekarang sudah ada atap lagi, Tuhan baik,”
Laura menuliskan dalam unggahannya, disertai foto anak-anak yang duduk rapi di tepi laut. Di foto lain, para bapak memaku balok kayu dengan tangan kasar mereka. Tulisan pendek berbunyi:
“Uwooww ini nih jagoan-jagoannya papua hei.”
Pembangunan Rumah Belajar Papua Hei (Sumber: Instagram/lauraamrsgn)
 
Tak ada proyek besar. Tak ada kamera media. Tapi di situlah makna keberlanjutan menemukan bentuknya, dari kesederhanaan dan kebersamaan yang tumbuh dengan sendirinya.

Pelan-Pelan, Tapi Tidak Berhenti

Frans, Paska, dan Manuel, tiga anak yang kerap disebut dalam unggahan Laura, kini menjadi simbol kecil perubahan. Frans, misalnya, dulu kesulitan menghafal perkalian dua. Tapi seminggu kemudian, ia bisa mengerjakan soal dengan lancar.
“Kemajuannya bukan hanya dari tidak bisa menjadi bisa, tapi lebih jauh lagi, Frans mengenali dirinya sendiri,”

tulis Laura dalam salah satu unggahannya.


Dari situlah saya mulai memahami satu hal, pendidikan sejati memang tak diukur hanya dari nilai rapor, tapi juga dari kemampuan mengenali diri. Papua Hei bukan hanya mengajari berhitung, tapi juga menumbuhkan kesadaran diri, bahwa setiap anak punya ritme belajar yang sah untuk dihormati.

Ketika Ketulusan Dikenali

Perjalanan panjang Papua Hei akhirnya sampai ke panggung penghargaan nasional. Melalui Apresiasi SATU Indonesia Awards 2024, sebuah inisiatif sosial dari PT Astra International Tbk., Laura Marisa Siagian dinobatkan sebagai salah satu penerima apresiasi di bidang pendidikan, berkat dedikasinya pada Rumah Belajar Papua Hei di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua.

Program SATU Indonesia Awards (Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia) lahir sebagai bentuk komitmen Astra dalam mendukung generasi muda yang bekerja nyata untuk masyarakat, di bidang kesehatan, lingkungan, pendidikan, teknologi, kewirausahaan, dan kelompok khusus.

Setiap tahunnya, ribuan anak muda mendaftar. Namun yang terpilih bukan semata karena besarnya proyek, melainkan ketulusan dan dampak berkelanjutan yang mereka bawa bagi komunitas. 

Kegiatan Belajar di Rumah Belajar Papua Hei (Sumber: Instagram/lauraamrsgn)

Bagi Laura, penghargaan itu bukan akhir, melainkan undangan untuk melangkah lebih jauh, bahwa membangun satu rumah belajar di pesisir timur Indonesia punya makna yang sama pentingnya dengan mendirikan sekolah besar di kota.
“Kami hanya ingin anak-anak Papua tahu bahwa mereka juga berharga, bahwa mimpi mereka sah untuk diperjuangkan,”

kata Laura dalam salah satu sesi berbagi komunitas.

Harapan yang Menyala dari Timur

Setiap kali matahari tenggelam di pantai Sarawandori, cahaya jingga menyapu rumah belajar kecil di tepi laut itu. Anak-anak menutup buku, suara tawa mereka bercampur dengan debur ombak. Laura menatap mereka satu per satu, tersenyum, lalu kembali menata papan tulis yang mulai pudar warnanya.

Dari jauh, saya ikut membayangkan pemandangan itu, sederhana, hangat, dan membuat hati terasa penuh. Menulis kisah Laura membuat saya menyadari satu hal, bahwa di banyak tempat di negeri ini, pendidikan masih belum berjalan seimbang. Namun di antara kesenjangan itu, selalu ada orang-orang dan komunitas yang bekerja tanpa pamrih, menyalakan terang dari titik-titik kecil di peta negeri.

Pemandangan Laut dan Pegunungan di Serui, Papua, Indonesia (Sumber: Instagram/lauraamrsgn)

Saya merasa haru, tapi juga bersyukur. Karena di tengah segala keterbatasan, selalu ada yang memilih untuk tidak berhenti berharap. Mungkin benar, perubahan besar tak selalu datang dari kota besar atau panggung megah.

Kadang, ia lahir dari suara kecil di tepi laut yang berkata:
“Iyo, Kaka.. sa pelan-pelan saja dan fokus. Kaka tunggu sa e..”
Di situlah, saya percaya, masa depan sedang disiapkan, perlahan, tapi pasti.
Dari timur, untuk Indonesia.

Comments